PENDAHULUAN
Banyak hal yang
dapat kita lihat dan alami dalam hidup ini. Hal-hal yang kita lihat dan alami
itu lebih lanjut sebut saja pengalaman kadang-kadang begitu dalam menyentuh
perasaan dan kadang pula tidak. Terhadapnya sebagian orang membiarkannya begitu
saja dan ada pula yang begitu memperhatikan.
Seorang penulis
puisi lebih sering disebut penyair, tidak akan meremehkan
pengalaman-pengalamannya. Segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya selalu
tidak luput dari perhatiannya. Dia menjadikan semua itu sebagai sesuatu yang
bermakna bagi manusia, manusia yang memiliki kesadaran eksistensial. Wujud
perhatian dan usaha menjadikan pengalaman-pengalaman itu sebagai sesuatu yang
bermakna bagi manusia di antaranya adalah menuangkan atau menuliskan apa yang dialaminya
dan dilihatnya ke dalam bentu puisi.
Istilah hakikat
puisi (yakni unsur hakiki yang menjiwai puisi) disebut struktur batin,
sedangkan metode puisi (medium bagaimana hakikat itu diungkapkan) disebutnya
struktur fisik. Adapun wujud konkret hakikat puisi adalah pernyataan batin
penyair, sedangkan metode adalah unsur-unsur pembangun bentuk kebahasaan puisi.
Menurut
Waluyo (dalam Jabrohim, 2001:34) berpendapat bahwa struktur fisik puisi terdiri
atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi.
Selanjutnya, demikian Waluyo, bait-bait puisi itu membngun kesatuan makna di
dalam keseluruhan isi sebagai sebuah wacana. Struktur fisik ini merupakan
medium pengungkapan struktur batin puisi. Adapun unsur-unsur yang termasuk
dalam struktur fisik puisi menurut Waluyo adalah diksi, pengimajian, kata
konkret, majas, verifikasi, tipografidan sarana retorika. Adapun struktur batin
puisi, sebagaimana disebut Waluyo terdiri atas tema, nada, perasaan dan amanat.
Pada
kenyataan, puisi sangat dpengaruhi oleh latar belakang waktu atau kejadian saat
penciptaan puisi tersebut. Misalnya, puisi pada zaman animisme dan dinamisme
berisi tentang mantera-mantera mencakup kepercayaan masyarakat pada masa itu
terhada roh-roh nenek moyang. Begitu pula pada masa perjuangan. Tema puisinya
sebagian diwarnai oleh nuansa perjuangan. Berdasarkan perkembangannya, puisi
dibagi menjadi puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
Dari
berbagai latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
anrtara lain, Bagaimanakah cara menulis puisi yang baik sesuai dengan hakikat
serta unsur-unsur yang membangu puisi.
Tujuan
penulisan makalah ini bertujuan untuk memperluas wawasan dan cakrawala
pemikiran serta meningkatkan kemampuan teknis dalam menulis puisi. Manfaat penulisan
makalah ini agar dapat memupuk minat dan bakat sehingga dapat memiliki kepekaan
apresiasi dan kemampuan kreasi atau ekspresi sehingga menjadi manusia yang
memiliki kepribadian kreatif, yaitu mampu berimajinasi sehingga dapat menulis
sebuah puisi.
PENGERTIAN PUISI
1.1.Pengertian Puisi dari
Lima Ahli Sastra
Shahnon Ahmad (dalam
Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh
para penyair romantik Inggris sebagai berikut:
1.
Wordsworth mempunyai
gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan
yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih
merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
2.
Carlyle mengatakan
bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan
puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya,
kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya
yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi
3.
Dunton berpendapat
bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan
artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan
citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan
kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta
berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara
teratur).
4.
Samuel Taylor Coleridge
mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya,
misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat
berhubungannya, dan sebagainya.
5.
Shelley mengemukakan
bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya
saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang
kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan
kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan
detik-detik yang paling indah untuk direkam.
1.2
Kesimpulan
Pengertian Puisi
a. Dari
uaraian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa puisi adalah salah satu
bentuk karya sastra yang mengekspresikan secara padat pemikiran dan perasaan
peyair, digubah dalam wujud dan bahasa yang paling berkesan.
b. Dari
definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun
tetap terdapat benang merah. Oleh sebab itu penulis dapat menyimpulkan bahwa
puisi merupakan ungkapan atau ekspresi dari pemikiran manusia yang dituangkan
dalam bentuk tulisan yang indah. Pengertian puisi di atas juga terdapat
garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi,
imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata, kata
kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
STRUKTUR
BATIN
2.1 Tema
Tema
adalah gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang. Tema tentulah
merupakan kombinasi atau sintesis dari bermacam-macam pengalaman, cita-cita,
ide dan bermacam-macam hal yang ada dalam pikiran penulis. (Endah Tri Piyatmi,
2010: 74 dalam Skripsi Sri Handayani, 2011: 22)
Tema
puisi merupakan gagasan utama penyair dalam puisinya. Gagasan penyair cenderung
tidak selalu sama dan besar kemungkinan untuk berbeda-beda. Oleh karena itu,
tema puisi yang dihasilkannya pun akan berlainan. (E. Kosasih, 2008: 37 dalam
Skripsi Sri Handayani, 2011: 22)
Jelas bahwa
dengan puisinya sang penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi para menikmatnya. Sang
penyair melihat atau mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari yang ingin dikemukakan, dipersoalkan atau mempermasalahkan hal-hal
itu dengan caranya sendiri.
Demikianlah
setiap puisi mengandung suatu subject
matter untuk dikemukakan atau ditonjolkan. Hal ini tergantung kepada
beberapa faktor, antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan, dan
pendidikan dari sang penyair sendiri. Di samping itu, setiap puisi juga harus
mengandung makna, sekalipun dalam beberapa puisi makna tersebut agak samar.
Terlebih lagi bila sang penyair begitu mahir mempergunakan bahasa figuratif.
Makna yang
dikandung oleh subject matter, suatu
puisi itulah yang disebut dengan tema. Untuk lebih jelas berikut adalah puisi
Armyn Pane yang singkat namun padat dan hanya terdiri dari lima baris:
Kembang Setengah Jalan
Mejaku
hendak dihiasi
Kembang
jauh dari gunung.
Kau
petik sekarangan kembang,
Jauh
jalan panas hari,
Bunga
layu setengah jalan.
Setelah kita
baca baik-baik puisi di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa temanya ialah
“sesuatu yang tak sampai”. “sesuatu” itu adalah kembang, yang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat melambangkan kasih, cinta, wanita. Jadi tema puisi di
atas adalah kasih tak sampai, bertepuk
sebelah tangan, dan hal itu tampak dari baris terakhir; bunga setengah jalan yang sekaligus merupan judul puisi
tersebut.hal itu juga jelas ada yang menyebabkannya : jauh jalan dan panas hari.
Sekalipun bunga yang telah layu itu dipaksakan juga untuk menghiasi meja
tersebut, ternyata sudah terlambat, tidak ada gunanya, sia-sia belaka.
2.2
Rasa
Rasa (feeling),
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
Rasa ialah sikap
sang penyair terhadap pokok permasalahan yang terkandung dalam puisi tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai dua orang atau lebih menghadapi
keadaan yang sama, tetapi justru dengan sikap yang berbeda. Demikian pula
halnya dengan cara penyair. Dua orang penyair atau lebih, dapat menafsirkan
objek yang sama dengan sikap yang berbeda. Terhadap anak “gembla” misalnya,
para penyair dapat mengemukakan “sikap” yang berbeda-beda.
Berikut
ini adalah karangan M. Yamin:
Gembala
Perasaan
siapa takkan nyala
Melihatkan
anak, berlagu dendang
Seorang
sahaja ditengah padang
Tiada berbaju
buka kepala
Beginilah nasib
anak gembala
Berteduh
dibawah, kayu nan rindang,
Semenjak pagi
meninggalkan kandang
Pulang ke rumah
disenja-kala.
Jauh sedikit,
sesayup sampai
Terdengar olehku
bunyi serunai
Melagukan alam,
nan molek permai.
Wahai gembala
disegera hijau
Mendengar
puputmu, menurutkan kerbau
Maulah aku
menurutkan dikau.
Puisi
gembala di atas merupakan ungkapan rasa sikap simpati serta penuh belas kasihan penyair. Penyair M. Yamin menaruh simpati serta penuh belas kasihan terhadap
anak gembala yang berdendang seorang diri di tengah padang tanpa baju tanpa
topi dari pagi sampai petang.
2.3
Nada
Nada (tone),
yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja
sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja
kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan
sebagainya. Nada adalah sikap sang penyair terhadap pembacanya. Dengan kata
lain: sikap sang penyair terhadap para penikmat karyanya. Nada yang dikemukakan
oleh seorang penyair dalam suatu puisi, tentu ada hubungannya dengan tema dan
rasa yang terkandung pada puisi tersebut. Pada saat-saat masyarakat atau
pribadi sedang menderita tekanan, baik jasmani atau rohani, dan tidak ada
keadilan dan kebenaran maka sering muncul pembrontakan ataupun keluhan serta
jeritan yang bernada sinis. Dalam puisi Indonesia, nada-nada sinis dapat kita
jumpai misalnya pada karya-karya Bang Usman (yang mewakili kesusastraan
Indonesia pada masa Jepang).
Marilah
sama-sama kita nikmati kesinisan Bung Usman berikut :
Hendak Tinggi?
Mau tinggi,
di muka bumi ????
Panjat kelapa
sampai kepuncak!!!
Alangkah tinggi
di muka bumi !!!
Semut dikakiku
Pedih gigitmu,
rasa sayat sembilu!!!
Kalau kupikirkan musuhku
dalam diriku …?
Aku malu !
Engkau hanya
semut dikakiku!!!
2.4
Amanat
Amanat/tujuan/maksud
(itention); sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair
menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan
puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
Setiap orang
hidup pasti mempunyai tujuan. Orang belajar pun ada maksud dan tujuan. Hanya
terkadang tujuan tersebut tidak disadari, namun dia tetap ada baik secara
eksplisit atau implisit. Demikian
halnya dengan penyair, sadar atau tidak sadar, dia mempunyai tujuan dengan
puisi-puisi ciptaannya itu. Apakah tujuan pertama kali untuk memenuhi kebutuhan
pribadi sendiri atau yang lain, bergantung pada pandangan hidup sang penyair.
Apabila sang penyair kebetulan seorang pendeta atau ulama, maka dengan
karya-karyanya dia ingin membawa orang kepada jalan yang diridoi oleh Tuhan,
lalu sajak-sajaknya bersifat religius.
Pada
angkatan Pujangga Baru terdapat dua orang penyair religius, yang seorang mewakili
agama Islam dan seorang lagi mewakili agama Kristen. Kedua penyair itu adalah
Amir Hamzah dan J.E. Tatengkeng. Kita mulai dengan sanjak karya Amir Hamzah.
Karena kasihmu
Karena kasihmu
Engkau tentukan
waktu
Sehari lima kali
kita bertemu
Aku inginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca
menali sutera
Berulang-ulang
kuintai-intai
Terus-menerus
kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan
kawi
Dating turun dari
datuku
Diujung lidah
engkau letakkan
Piatu teruna
ditengah gembala
Sunyi sepi pitunang
poyang
Tidak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melansing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raga
Hilang ia yang dilihatnya
Sekarang kita
dengarkan pula penyair Jan Engelbert Tatengkeng berdendang memuja, memuliakan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Panggilan
Pagi Minggu
Sedang kududuk diruang bilik,
Bermain kembang diujung jari,
Yang tadi pagi
telah kupetik,
Akan teman sepanjang hari,
Kudengar amat perlahan,
Mendengung diombak udara,
Menerusi daun dan dahan
Bunyi lonceng di atas menara
Katanya :
Kupanggil yang hidup,
Kutangisi yang mati,
Pinta jiwa jangan ditutup,
Luaskan Aku masuk ke hati.
- Masuklah, ya, Tuhan
dalam hatiku -
STRUKTUR
FISIK
3.1
Diksi
Adalah kemampuan
membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin
disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi
dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Kata-kata dipilih,
dicermati dan dibuat seefektif mungkin sehingga menghasilkan imajnasi dan
suasana tertentu yang ingin diciptakan.
Diksi mempunyai
peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu
karya sastra. Untuk mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami
secara lebi baik masalah kata dan maknanya, harus tahu memperluas dan
mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai
dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya
bahasa sesuai dengantujan penulisan.
3.2
Pengimajian
Adalah usaha
pengaturan atau penyusunan kata sehingga makna yang abstrak menjadi jelas dan
kokret.pengimajian digunakan untuk member gambaran yang jelas, menimbulkan
suasana khusus, membuat hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan, untuk
dapat menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau bayangan visual
penyair menggunakan gambaran-gambaran angan.
Di dalam puisi
diperlukan kekonkretan gambaran, maka ide-ide abstrak yang tidak dapat ditangkap
dengan alat-alat keinderaan diberi gambaran atau dihadirkan dalam gambar-ganbar
inderaan. Diharapkan ide yang semula abstrak dapat ditangkap atau seolah-olah
dapat dilihat, didengarkan, dicium, diraba, atau dipikirkan. Citraan dapat
dibedakan atas citraan visual (penglihatan), citraan auditif (pendengaran),
citraan artikulatori (pengucapan), citraan olfaktori (penciuman), citraan
gustatory (kecap), citraan taktual (peraba/perasa) citraan kinaestetic (gerak),
dan citraan organik.
3.3
Kata
Konkret
Adalah kata-kata
yang digunakan oleh penyair untuk menggambarkan suatu lukisan keadaan atau
suasana batin dengan maksud untuk membangkitkan imaji pembaca. Penyair berusaha
mengkonkretkan kata-kata, maksudnya kata-kata itu diupayakan agar dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Dengan kata yang diperkonkret pembaca
dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh
penyair. Contoh untuk mengkonkretkan gambaran jiwa yang penuh dosa digunkan
“aku hilang bentuk/remuk”.
3.4
Bahasa
Figuratif
Adalah bahasa
yang dipakai untuk menghidupkan lukisan, untuk lebih mengkonkretkan dan lebih
mengekspresifkan perasaan yang diungkapkan. Pemakaian bahasa figuratif
menyebabkan konsep-konsep abstrak terasa dekat pada pembaca karena dala bahasa
figuratif oleh penyair diciptakan kekonkretan, kedekatan, keakraban, dan
kesegaran. Disamping itu, adanya bahasa figuratif memudahkan pembaca dalam
menikmati sesuatu yang disampaikan oleh penyair. Bahasa figuratif dikelompokkan
menjadi beberapa macam:
a. Simile
adalah jenis bahasa figuratif yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang
sesungguhnya tidak sama.
b. Metafora
adalah bentuk bahasa figuratif yang membandingkan sesuatu hal dengan hal
lainnya yang pada dasarnya tidak serupa. Contohnya “orang itu seperti buaya
darat”.
c. Personifikasi
adalah jenis bahasa figuratif yang hamper sama dengan metafora. Bentuk bahasa
figuratif ini mempersamakan benda atau hal dengan manusia, benda atau hal itu
digambarkan dapat bertindak dan mempunyai kegiatan seperti manusia. Contohnya
“angin yang meraung, batu-batu mengiris”.
d. Epik-simile
adalah pembandingan yang dilanjutkan atau diperpanjang, yaitu dibentuk dengan
cara melanjutkan sifat-sifat perbandingan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat
atau frase-frase yang berturut-turut. Contonya ”Tuhanku/duniaku
menghutan/hutanku jadi taman/ tamanku kering, kembali jadi hutan…/”.
e. Metonimi
adalah pemindahan istilah atau nama sesuatu hal atau benda ke suatu hal atau
benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat. Contohnya “Tuhanku/lingkarilah jiwaku/dengan
cincin kasih-Mu/…”.
f. Sinekdoki
adalah bahasa figuratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari suatu benda
atau hal untuk benda atau hal itu sendiri. Contohya “Tuhanku/di dalam setiap
sembahyangku/aku melihat/segala bangunan/yang kami ciptakan dalam/kehidupan,
ternyata hanyalah ulat-ualat,/busuk dan menjijikkan/”.
3.5
Versifikasi
Meliputi ritma,
rima dan metrum.
a. Ritma
berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Dalam puisi
(khususnya puisi lama), ritma berupa pengulangan yang teratur suatu baris puisi
menimbulkan gelombang yang menciptakan keindahan. Ritma juga dapat juga
pergartian keras-lembut, tinggi-rendah, atau panjang-pendek kata secara
berulang-ulang dengan tujuan menciptkan gelombang yang memperindah puisi.
Contoh “Pagiku hilang/sudah melayang/Hari mudaku/telah pergi/Kini petang/dating
membayang/Batang usiaku/sudah tinggi”.
b.
Rima
merupakan persamaan bunyi dalam puisi. Persamaan bunyi dapat berada di awal,
tengah akhir ataupun persamaan bunyi konsonan pada beberapa kata. Contoh
“Karena kasih-Mu/Engkau tentukan waktu/sehari lima kali kita bertemu”.
c.
Metrum
merupakan irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola
tetentu. Hal ini disebabkan oleh (1) jumlah suku kata yang tetap, (2) tekanan
yang tetap, dan (3) alun suara menaik dan menurun yang tetap.
3.6
Tipografi
Merupakan
pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa
fiksi dan drama. Karena itu ia merupakan pembeda yang sangat penting. Dalam
prosa (baik fiksi maupun bukan) baris-baris kata atau kalimat membentuk sebuah
periodisitet. Namun, dalam puisi tidak demikian halnya. Baris-baris dalam puisi
membentuk sebuah periodisitet yang disebut bait. Baris-baris puisi tidak
diawali dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan, tapi sebelah kiri maupun
kanan sebuah baris puisi tidak harus dipenuhi oleh tulisan, tidak seperti
halnya jika kita menulis prosa.
3.7
Sarana
Retorika
Sarana retorika
merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran, dengan muslihat itu
para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, sehingga pembaca tersugesti
atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya sarana retorika menimbulkan
ketegangan puitis, karena pembaca harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan
dan dimaksudkan oleh penyairnya.
Sarana retorika
adalah muslihat pikiran. Muslihat pikiran ini berupa bahasa yang tersusun untuk
mengajak pembaca berfikir. Sarana
retorika berbeda dengan bahasa kiasan atau bahasa figuratif dan citraan. Bahasa
figuratif da citraan bertujuan memperjelas gambaran atau memgkonkretkan dan
menciptakan prespektif yang baru melalui perbandingan,sedangkan sarana retorika
adalah alat untuk mengajak pembaca berfikir supaya lebih menghayati gagasan
yang dikemukakan.
3.8
Nilai
Sosial
Nilai social adalah
nilai yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat yaitu kehidupan manusia
sebagai makhluk social, selalu dihadapkan pada masalah-masalah social yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Masalah sosial timbul
sebagai akibat dari hubungan-hubungan sesama manusia lainnya dan sebagai akibat
tingkah lakunya.
3.9
Nilai
Psikologi
Yaitu nilai-nilai
kebatinan atau kerohanian. Misalnya mendalami jiwa orang lain, adalah penting
untuk dapat bergaul dengan masyarakat secara baik.
3.10 Nilai Moral
Yaitu
nilai mengenai ajaran baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan-perbuatan, sikap dan kewajiban seperti akhlak, budi pekerti, susila
dan lainnya.
3.11 Nilai Budaya
Nilai Yang disepakati
dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat
yangmengakar pada suatu kebiasaan.
3.12 Nilai Ekonomi
Yaitu nilai yang
membentuk khayal dan fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan
meskipun tidak sesuai dengan kenyataan.
3.13 Nilai Politik dan
Perjuangan
Yaitu nilai tentang
salah satu wujud interaksi social, termasuk persaingan, pelanggaran, dan
konflik.
3.14 Nilai Agama
Yaitu suatu nilai yang
berkaitan dengan perubahan sikap dan tingkah laku kearah yang lebih baik yang
berkaitan dengan keTuhanan.
BAB
IV
MACAM-MACAM
PUISI
4.1
Puisi
Lama
Merupakan hasil
karya pengarang pada masa berkembangnya karya sastra lama. Pada masa itu,
masyarakat masih hidup dan berpikir sederhana, serta masih dipengaruhi oleh
adat istiadat dan tradisi. Karya sastra lama termasuk puisi lama, biasanya
berisi tentang ajaran-ajaran moral, pendidikan, ajaran agama, aturan adat
istiadat, adan nasihat.
Ciri-ciri puisi
lama :
.
Puisi lama sanagat
terikat oleh kebiasaan adat istiadat
a. Puisi lama terikat pada aturan-aturan penulisan.
Misalnya, jumlah baris pada setiap baitnya, sajak terakhir mempunyai bunyi yang
sama, serta ada sampiran dan ada isi.
b. Biasanya karya puisi lama tidak mencantumkan nama
pengarangnya
c. Biasanya
menggunakan bahasa Melayu.
Karya puisi lama dibagi menjadi beberapa bentuk, antara
lain :
A.
Mantera
Mantera
termasuk puisi lama karena bentuknya mempunyai bait dan baris. Mantera
merupakan warisan budaya dari zaman animisme dan dinamisme, dimana
masyarakatnya masih memuji roh-roh atau kekuatan gaib atau sesuatu yang
dikeramatkan, seperti dewa-dewa, binatang atau kekuatan gaib lainnya. Kemudian,
ketika zaman kebudayaan Melayu berkembang dan kebudayaan Islam berkembang,
mantera juga mengikuti perkembangan budaya itu. Mantera
biasanya dianggap berkekuatan ghaib oleh karena itu harus diadakan ritual dalam
pengucapan mantra.
Contoh :
§ Mantra
Dari Jawa
Sang ireng jeneng muksa pang
reksane
Sang ening mati jati raksane
Lakune ora katon pangraksane
manusa,
Bismillahirrohmannirohim,
Car mancur cahayaning Allah,
Sumsum balung rasaning pangeran,
Kulit wulu rasaning pangeran,
Iya ingsun mancuring Allah
jatining manusa,
nek putih rasaning nyawa,
badan Allah sak kelebut putih,
Iya ingsun nagara sampurna.
B. Pantun
Adalah jenis puisi lama yang terdiri atas empat baris
dalam satu baitnya. Baris pertama dan baris kedua merupakan sampiran, baris
ketiga dan keempat merupakan isi yang dituju atau dimaksudkan oleh pengarang. Sajak
terakhir pada baris pertama akan sama dengan baris ketiga, sementara baris
kedua dan keempat mempunyai bunyi yang sama.
Contoh :
§ Pantun
nasihat
Ilmu insan setitik embun
Tiada umat sepandai Nabi
Kala nyawa tinggal diubun
Turutlah ilmu insan nan mati
C. Talibun
Talibun hampir sama dengan
pantun. Jika pantun setiap baitnya terdiri atas empat baris, talibun setiap
baitnya terdiri atas enam, delapan, sepuluh, duabelas, dan seterusnya. Talibun
juga mempunyai sampiran dan isi. Jika jumlah baris baris talibun enam, maka
tiga baris pertama merupakan sampran, dan tiga baris terakhir merupakan isi. Jika jumlah
baris talibun delapan, maka empat baris pertama merupakan sampiran sedangkan
empat baris terakhir adalah isi.
Contoh :
§
Talibun
delapan baris
Pasir
bulan dalam perahu
Berlabuh
tentang batu bara
Berkawan
lalu ketepian
Ketika
menghadap kemudian
Kasih
tuan hambalah tahu
Bagai
orang menggenggam bara
Rasa
hangat dilepaskan
Begitu
benar malah kiranya.
D.
Seloka
Seloka
juga hampir sama dengan pantun. Bahkan, seloka disebut juga pantun berbingkai
karena bait yang satu masih berhubungan dengan bait berikutnya. Cirri seloka
adalah satu bait terdiri atas empat baris. Baris kedua dan keempat pada bait
pertama akan diulangi bait kedua. Sementara baris
kedua dan keempat pada bait kedua akan diulang pada bait ketiga.
Contoh :
§ Seloka
a-b-a-b
Seganda gugur di halaman
Daun melayang masuk kulah
Dengan adinda minta berkenalan
Rindunya bukan ulah-ulah
Daun melayang masuk kulah
Batang berangan di tepi paya
Rindunya bukan ulah-ulah
Jangan tuan tidak percaya
E.
Gurindam
Gurindam mirip
dengan pantun kilat karena terdiri atas dua larik namun rima akhir dalam
gurindam berpola a-a. Kedua larik tersebut merupakan kalimat majemuk yang
menyatakan sebab akibat. Baris pertama merupakan syarat dan baris kedua
merupakan akibat atau isi. Gurindam berisi nasehat atau ajaran budi pekerti.
Contoh :
Barang siapa yang mendekatkan
pada Illahi
Maka ia akan mendapatkan sugawi
Barang siapa
mengenal akhirat
Taulah ia
dunia mudarat
F.
Syair
Syair berasal
dari kebudayaan Arab yang masuk kedalam budaya Indonesia. Isi syair selalu
berupa nasehat atau dongeng yang sarat
akan pesan moral. Syair Terdiri atas empat baris, semuanya merupakan isi, tidak
memiliki sampiran, tiap baris terdiri atas 8 sampai 12 suku kata, dan rima ahirnya
berpola a-a-a-a.
Contoh
:
Ya Illahi
Khalikul Bahri
Nasibku
malang tiada pergi
Ditinggal suami seorang diri
Bakal sengsara sepanjang hari
G.
Karmina
Karmina disebut
juga pantun kilat. Bentuknya sama dengan pantun biasa, hanya liriknya lebih
pendek. Tiap larik terdiri atas empat sampai lima suku kata dan pola rimanya
a-b-a-b.
Contoh :
Gendang gendut tali kecapi
Kenyang perut senanglah hati
Dahulu perang sekarang besi
Dahulu sayang sekarang benci
H. Bidal
Bidal ialah kalimat singkat yang mengandung
pengertian dalam bentuk kiasan, dan digunakan untuk menyatakan suatu hal yang
kurang pantas secara halus. Jadi, biasanya bidal berisi sindiran,perbandingan, atau kiasan.
Contoh:
} “Minyak habis sambal tak enak.”
} “Bagai mengairi sawah orang.”
} “Semahal-mahalnya gading, kalau
patah tak berharga.”
Bidal diklasifikan menjadi beberapa jenis,
antara lain:
} Pepatah
} Peribahasa
} Ungkapan
} Perumpamaan
} Ibarat
} Pemeo/semboyan
I. Masnawi
Berisikan pujaan terhadap orang-orang besar
atau perbuatan yang penting-penting contoh:
Umar yang adil dengan perinya
Nyata pun adil sama sendirinya
Dengan adil itu anaknya dibunuh
Inilah adat yang benar dan sungguh
Dengan bedah antara isi alam
Ialah yang besar pada siang malam
Lagi pun yang menjauhkan segala syair
Imamulhak di dalam Padang Mahsyar
Barang yang hak Ta’ala katakan itu
Maka katanya sebenarnya begitu
J. Ruba’i
Rubai terdiri atas empat larik, berima a-a-ba. Banyaknya suku kata tiap larik tidak tentu.
Biasanya, rubai bernapaskan agama.
Contoh:
Dunia juga yang indah maka tercenganglah manusia,
sebab terkadang ia terhina dan lagi termulia,
bahwa seseorang tiada kenal dunia itu,
dalam dunia juga hidupnya sehari sia-sia.
K. Gazal
Gazal juga merupakan pengaruh Persia-Arab pada
sastra kita. Gazal merupakan
puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas 8 larik. Tiap larik terdiri atas 20 hingga 22 suku
kata. Setiap larik mempunyai kata akhir yang samaJadi bukan hanya rimanya yang sama,
melainkan kata. Gazal berisi masalah kebatinan yang tinggi.
Contoh:
Kekasihku seperti nyawa pun adalah terkasih dan mulia juga,
dan nyawaku pun, mana daripada nyawa itu jauh ia juga,
jika seribu tahun lamanya pun hidup sia-sia juga,
hanya jika pada nyawa itu hampir dengan sedia suka juga,
nyawa itu yang menghidupkan senantiasa nyawa manusia juga,
dan menghilangkan cintanya pun itu kekasihku yang setia juga,
kekasihku itu yang mengenak hatiku dengan rahasia juga,
Bukhari yang ada serta nyawa itu ialah berbahagia juga.
4.2
Puisi
Baru
A. Distikon (sajak dua
seuntai)
Sajak
yang berisi dua baris kalimat dalam setiap baitnya, bersajak a-a.
Contoh:
HANG TUAH
Bayu berpuput alun bergulung
Banyu direbut
buih di bubung
Selat malaka
ombaknya mmecah
Pukul-memukul
belah-membelah
Bahtera ditepuk
buritan dilanda
Penjajab
dihantuk haluan di tunda
Oleh : Amir Hamzah
Dari : Puisi Baru
B.
Terzina (sajak tiga seuntai)
Sajak
tiga seuntai, artinya setiap baitnya terdiri atas tiga buah kalimat. Tarzina bersajak a-a-a; a-b-c; a-b-b;
Contoh:
BAGAIMANA
Kadang-kadang aku benci
Bahkan sampai aku maki
……………… diriku sendiri
Seperti aku
Menjadi seteru
……………….diriku sendiri
Waktu itu
Aku ……………………..
Seperti seorang lain dari diriku
Aku
tak puas
Sebab
itu aku menjadi buas
Menjadi buas dan panas
( Or. Mandank )
C. Quatrin
(sajak empat seuntai)
Sajak
empat seuntai yang setiap baitnya terdiri atas empat buah kalimat. Kuatrin
bersajak ab\ab, aa-aa, ab\ab atau aa\bb.
Contoh:
NGARAI SIANOK
Berat himpitan
gunung Singgalang
Atas daratan di bawahnya
Hingga tengkah tak alang-alang
Ngarai lebar dengan dalangnya
Bumi runtuh-runtuh juga
Seperti beradab-adab yang lepas
Debumnya hirap dalam angkasa
Derumnya lenyap di
sawah luas
Dua penduduk di
dalam ngarai
Mencangkul lading satu-satu
Menyabit di sawah bersorak sorai
Ramai kerja sejak dahulu
Bumi
runtuh-runtuh jua
Mereka hidup
bergiat terus
Seperti si Anok
dengan rumahnya
Diam-diam mengalir
terus
( Rifai Ali )
D. Quint
(sajak lima seuntai)
Sajak atau puisi yang terdiri atas lima baris kalimat
dalam setiap baitnya. Kuint bersajak
a-a-a-a-a.
Contoh:
HANYA KEPADA TUAN
Satu-satu perasaan
Yang saya
rasakan
Hanya
dapat saya katakana
Yang
pernah merasakan
Satu-satu
kegelisahan
Yang saya
rasakan
Hanya
dapat saya kisahkan
Kepada
Tuan
Yang
pernah di resah gelisahkan
Satu-satu
desiran
Yang saya
dengarkan
Hanya
dapat saya syairkan
Kepada
Tuan
Yang
pernah mendengarkan desiran
Satu-satu
kenyataan
Yang saya
didustakan
Hanya
dapat saya nyatakan
Kepada
Tuan
Yang
enggan merasakan
( Or. Mandank )
E. Sextet/Dubbel Terzina (sajak enam seuntai)
Sajak atau puisi enam seuntai,
artinya terdiri atas enam buah kalimat dalam setiap baitnya. Sektet mempunyai
persajakan yang tidak beraturan. Dalam sektet, pengarangnya bebas menyatakan
perasaannya tanpa menghiraukan persajakan atau rima bunyi.
Contoh:
BUNDA DAN ANAK
Masak jambak
Buah sebuah
Diperam alam di
ujung dahan
Merah
Beuris-uris
Bendera masak bagi selera
Lembut umbut
Disantap sayap
Kereak pipi mengobat luas
Semarak jambak
Di bawah pohon terjatuh ranum
Lalu ibu
Di pokok pohon
Tertarung hidup,
terjauh mata
Pada pala
Tinggal sepenggal
Terpercik liur di bawah lidah
F. Septina
(sajak tujuh seuntai)
Sajak tujuh seuntai
yang setiap baitnya terdiri atas tujuh buah kalimat. Sama halnya dengan sektet, persajakan septina tidak
berurutan.
Contoh:
API UNGGUN
Diam tenang kami memandang
Api unggun menyala
riang
Menjilat meloncat
menari riang
Berkilat-kilat
bersinar terang
Nyala api
nampaknya curia
Hanya satu cita digapai
Alam nan tinggi, sunyi, sepi
(Intojo)
G. Stanza atau octaaf
(sajak delapan seuntai)
Sajak delapan seuntai
yang setiap baitnya terdiri atas delapan buah kalimat. Stanza disebut juga
oktava. Persajakan stanza tidak beraturan.
Contoh:
PERTANYAAN
ANAK KECIL
Hai kayu-kayu
dan daun-daunan
Mengapakah kamu
bersenang-senang?
Tertawa-tawa
bersuka-sukaan?
Oleh angin dan
tenang, serang?
Adakah angin
tertawa dengan kami?
Bercerita bagus menyenangkan kami?
Aku tidakmengerti kesukaan kamu!
Mengapa kamu tertawa-tawa?
Hai kumbang bernyanyi-nyanyi!
Apakah yang kamu nyanyi-nyanyikan?
Bunga-bungaan kau penuhkan bunyi!
Apakah yang kamu bunyi-bunyikan?
Bungakah itu
atau madukah?
Apakah?
Mengapakah? Bagaimanakah?
Mengapakah kamu
tertawa-tawa?
(Mr. Dajoh)
H.
Ode
Sajakatau puisi yang
isinya mengandung pujian kepada seseorang, bangsa dan Negara, atau pun sesuatu
yang dianggap mulia. Karena isinya itulah, ode disebut juga sebagai
puji-pujian. Persajakan ode tidak beraturan atau bebas.
Contoh:
· Menara
sakti ( Kepada arwah HOS. Cokroaminoto) , karya A Hasjmy
I.
Himne
Sajak
pujaan, yaitu puji-pujian kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Himne disebut juga sajak
atau puisi ketuhanan.
Contoh:
· Padamu jua, karya Amir Hamzah
J. Elegi
Elegi
merupakan sajak duka nestapa. Isi sajak ini selalu mengungkapkan sesuatu yang
menyayat hati, mendayu-dayu dan mengharu-biru.
Contoh:
· Bertemu, karya
Sutan Takdir Alisyahbana
K. Epigram
Sajak
atau puisi yang berisi tentang ajaran-ajaran moral, nilai-nilai hidup yang baik
dan benar, yang dilukiskan dengan ringkas. Terkadang ditulis dengan kata-kata
atau kalimat-kalimat sindiran atau kecaman pahit.
Contoh:
· Pemuda, karya
Surapati
L. Satire
Sajak
atau puisi yang isinya mengecam, mengejek dengan kasar (sarkasme) dan tajam
(sinis) suatu kepincangan atau ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.
Contoh:
· Marhaen, karya Sanusi pane
M. Romance
Romance adalah sajak
atau puisi yang berisi tentang cinta kasih. Cinta kasih ini tidak hanya cinta
kasih antara dua orang kekasih, tetapi juga cinta kasih dalam bentuk lainnya.
Misalnya cinta terhadap suasana damai dan tentram, cinta keadilan, cinta terhadap
bangsa dan Negara juga cinta kepada Tuha.
Contoh:
· Anakku, karya J.E. Tatengkeng
N. Balada
Sajak atau puisi yang
berisikan cerita atau kisah yang mungkin terjadi atau hanya khayalan penyairnya
saja.
Contoh:
· Kristus di Medan Perang,
karya Sitor Situmorang
O. Soneta (sajak 14
seuntai)
Soneta adalah salah
satu bentuk puisi baru yang berasal dari Italia dan masuk ke Indonesia melalui
pemuda terpelajar Indonesia yang belajar di Eropa, terutama Belanda.Tokoh
sonata terkenal dan dianggap sebagai bapak sonata Indonesia adalah Mohammad
Yamin dan Rustam Effendi.
Soneta yang asli
terdiri atas empat belas kalimat seluruhnya. Namun sonata yang ada di Indonesia
jumlah barisnya lebih dari empat belas kalimat. Tambahan baris kalimat dalam
sonata tersebut dinamakan koda atau ekor.
Contoh:
· Kehilangan Mestika, karya A. Kartahadimadja
· Untuk Tini Kusuma, karya Moch. Yamin
4.3
Puisi
Modern Kontemporer
Puisi modern
kontemporer dimulai sekitar tahun 1945, ketika para penyair mulai melahirkan
karya-karya yang bercorak baru yang sangat berbeda dari karya-karya puisi
sebelumnya. Pengaruh sastra Melayu dan bahasa Melayu sudah benar-benar
ditinggalkan. Para penyair pada masa ini mulai menulis puisi atau karya sastra
lainnya dengan bebas dan dengan bahasa yang lebih lincah, tidak lagi terikat
pada peraturan-peraturan bentuk seperti yang terdapat pada karya puisi lama dan
puisi baru.
Dari segi
bentuk, isi, dan bahasa puisi itulah, karya-karya sastra termasuk puisi yang
terlahir dari tahun 1940 sampai dengan sekarang digolongkan sebagai puisi
modern.
A.
Puisi
Angkatan ‘45
Yang dimaksud
puisi angkatan 45 adalah puisi yang terlahir pada 1940 an yang dilator
belakangi oleh penjajahan bahasa asing, terutama bangsa Belanda dan Jepang.
Angkatan ’45
disebut juga Angkatan Chairil Anwar, karena penyair Chairil Anwar banyak
melahirkan karya sastra pada saat itu. Chairil Anwarlah yang memulai penciptaan
karya puisi yang berbeda dengan karya puisi sebelumnya (puisi lama dan puisi
baru).
Karya
puisi Angkatan ’45 :
Doa
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
Tinggal kerip lilin di kelam
sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara dinegri asing
Tuhanku
Di pintunu aku mengetuk
Aku tidak bias berpaling
B.
Puisi
Angkatan ‘66
Yang dimaksud
dengan puisi Angkatan ’66 adalah karya-karya puisi yang dicptakan oleh para
penyair pada sekitar tahun 1960-an sampai dengan tahun 1970-an . Disebut
Angkatan ’66 karena karya puisi yang sangat berpengaruh adalah puisi-puisi yang
ditulis oleh penyair pada tahun 1965-1966, yang dilatarbelakangi dengan
pembrontakan PKI. Oleh karena keadaan itu banyak seniman para pemuda dan
seniman berdemontrasi di mana-mana. Mereka menuntut PKI dibubarkan, termasuk
para penyair yang berusaha menggambarkan keadaan itu melalui karya puisinya.
Karya
puisi Angkatan ’66 :
Karangan
Bunga
Tiga anak
kecil
Dalam
langkah malu-malu
Datang
keselamba
Sore itu
Ini dari
kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
C.
Puisi
Tahun 1970-an-2000-an
Puisi Indonesia
semakin berkembang dari tahun ketahun. Keadaan masyarakat masih karya cipta
puisi. Namun, pada tahun 1970-an sampai sekarang para penyair masih menulis
atau menciptakan puisi dengan temayang beragam. Seperti keindahan alam,
percintaan, tentang keluarga, dan lainnya.
Karya puisi
Angkatan 1970-an-2000-an :
Tuhan Telah Menegurmu
Tuhan telah menegurmu dengan
cukup sopan
Lewat perut anak-anak yang
kelaparan
Tuhan telah menegurmu dengan
cukup sopan
Lewat semayup suara azan
Tuhan menegurmu dengan cukup
menahan kesabaran
Lewat gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung kencang
Hujan dan banjir melintang kukang
D.
Puisi
Mbeling
Puisi mbeling pada
umumnya mengandung unsure humor, bercorak kelakar. Dalam puisi ini sering
terdapat unsure kritik, terutama kritik sosial. Puisi mbeling tidak
meng’haram’kan penggunaan suatu kata. Semua kata mempunyai hak yang sama dalam
penulisan puisi ini.
Contoh : ( puisi mbeling )
Teka teki
Saya ada
dalam puisi
Saya ada
dalam cerpen
Saya ada
dalam novel
Saya ada
dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam esai
Saya ada dalam wc
Siapakah saya ?
Jawab : H.B Jassin
Mengapa :
Karena tahun 70-an sastra Indonesia didominasi oleh sastrawan yang sudah mapan
termasuk H.B Yasin. Sastrawan muda merasa tidak diberi kesempatan untuk tampil.
Melalui karya – karyanya mereka mencoba berontak terhadap keadaan tersebut.
E.
Puisi
Tipografi
Yaitu puisi kontemporer
yang memandang bentuk atau wujud fisik puisi mampu memperkuat ekspresi puisi.
Bahkan wujud fisik puisi dipandangg sebagai salahh satu unsure puisi, sebagai
suatu tanda yang memiliki makna tertentu, yang tidak terlepas dari keseluruhan makna
puisi.
Contoh
MAUT
dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia
diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia
dia
diamdiam diamdiam dia
dia diamdiam
diamdiam
maut
Karya : Ibrahim Sattah
PENUTUP
Hakiakat puisi
meruoakan unsur hakiki yang menjiwai puisi dengan melukiskan sifat-sifat
utamanya. Dengan mengetahui sifat-sifat utama tersebut, maka lebih terbuka
jalan untuk mengerti bahkan juga menikmati serta menilai puisi. I.A. Richards,
seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukkan bahwa suatu puisi
mengandung suatu makna keseluruhanyang merupakan perpaduan dari tema (yaitu mengenai inti pokok puisi
itu), rasa (yaitu sikap sang penyair
terhadap bahan atau objeknya), nada
(yaitu sikap sang penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau tujuan
penyair).
DAFTAR PUSTAKA
Berdiati, Ika
dan Rahmawati Annisa. 2010. Berkenalan
Dengan Puisi. Bandung: Sinergi Pustaka Indonesia.
Isdriani, Pudji.
2009. Seribu Pena Bahasa Indonesia (Sekolah Menengah Atas dan Manrasah Aliyah).
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jabrohim, Anwar
Chairul dan Sayuti Suminto A. 2001. Cara
Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniati, Lisdwiana. 2008.
Stilistika. Pringsewu: STKIP M Pringsewu Lampung
Luxemburg, Jan Van. Dkk. 2008.
Pengantar ilmu sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Puspasari. 2010. Belajar Mengapresiasi Puisi. Bekasi:
Adhi Aksara Abadi Indonesia.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama